Oleh : Sahroni Ishak Jamaluddin, SH., SE., CMe Mahasiswa Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas Islam Kalimantan (UNISKA)
Britajambi.id – Uji materil Pasal 169 Huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum diajukan ke MK telah menjadi sorotan publik, dan menimbulkan tafsir yang sangat liar dikalangan masyarakat.
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang dibacakan secara tidak bulat telah mengabulkan sebagian permohonan mengenai Pasal 169 Huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, hal ini terkait batas usia pencalonan presiden dan wakil presiden dengan menambahkan klausul pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dalam putusan tersebut, Hakim Konstitusi memiliki pandangan yang berbeda-beda, sebanyak lima Hakim Konstitusi menyetujui putusan mengabulkan permohonan syarat pendaftaran capres-cawapres, dua hakim konstitusi diantaranya memiliki alasan berbeda (concurring opinion), dan empat hakim konstitusi menyatakan pendapat berbeda (dissenting opinion). Putusan ini dinilai oleh banyak kalangan mengandung sejumlah kejanggalan dan sarat akan kepentingan politik.
Bergulir ditengah masyarakat putusan Mahkamah Konstitusi ini juga telah mempermainkan perasaan publik, mengubah subtansi putusan dengan materi pengujian pasal yang sama secara drastis. Dimana Mahkamah Konstitusi telah membacakan tujuh permohonan uji materil Pasal 169 Huruf q UU Pemilu. Enam permohonan ditolak, namun Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian permohonan oleh seorang Mahasiswa asal Surakarta bernama Almas Tsaqibbirru.
Padahal pasal yang dipersoalkan dan permohonan yang disoalkan relatif sama dari ketujuh permohanan tersebut. Putusan Mahkamah Konstitusi ini sangat dramatis, seolah-olah menolak namun ujungnya mengabulkan.
Mahkamah Konstitusi dinilai tidak konsisten dalam memutus permohonan ini, yang awalnya memposisikan Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum sebagai kebijakan hukum terbuka pembentuk undang-undang (open legal policy).
Hal ini semestinya menutup ruang terhadap tindakan lain, selain dilakukan oleh pembentuk undang-undang. Namun tiba-tiba konsistensi hakim goyah terhadap permohonan lain dengan persoalan yang sama, hakim berubah pandangan dengan mengabulkan sebagian permohonan Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023.