Oleh: Dedi Saputra,S.Sos.,M.I.Kom
Britajambi.id – Sebagai seorang akademisi, saya merasa penting untuk mengkritisi wacana pemerintah yang berencana memberikan lahan tambang kepada lembaga kampus, meskipun himpunan para Rektor setuju dengan wacana ini. Menurut perspektif saya, langkah ini tidak hanya berisiko mengaburkan tujuan utama pendidikan, tetapi juga menciptakan serangkaian masalah baru yang dapat memperburuk kondisi pengelolaan sumber daya alam di Indonesia.
Lembaga Pendidikan seharusnya tetap berorientasi pada pengembangan pengetahuan dan sumber daya manusia, bukan pada profit. Ketika lembaga pendidikan terlibat langsung dalam bisnis tambang, ada risiko bahwa tujuan utama pendidikan akan tergeser oleh kepentingan ekonomi. Sebagaimana Teori Organisasi yang dicetuskan oleh Max Weber menekankan pentingnya tujuan organisasi yang jelas, keterlibatan dalam bisnis tambang dapat menciptakan konflik kepentingan yang merugikan semua pihak, termasuk mahasiswa dan masyarakat.
Keterlibatan lembaga pendidikan dalam aktivitas tambang berpotensi memperburuk kerusakan lingkungan, yang merupakan isu serius di Indonesia. Dalam konteks ini, Aristoteles mengembangkan teori Etika Lingkungan yang menegaskan pentingnya tanggung jawab institusi terhadap kelestarian lingkungan. Institusi pendidikan harus mempromosikan keberlanjutan, bukan justru berkontribusi pada kerusakan yang lebih besar.
Secara historis selama ini menunjukkan bahwa, baik perusahaan negara maupun swasta sering kali gagal dalam mengelola sumber daya alam secara baik, mulai dari kerusakan lingkungan, terlibat dalam kasus Korupsi, Kolusi dan Nepotisme serta terkait isu berkelanjutan, padahal mereka adalah institusi atau lembaga yang memang diberikan legalitas secara penuh dan fokus untuk pengelolaan tambang, apa jadinya jika pengelolaan tambang diberikan kepada institusi atau lembaga yang fokus utamanya bukan mengurusi soal tambang. Jadi, pemberian lahan tambang kepada lembaga kampus dapat dianggap sebagai pengalihan tanggung jawab negara yang tidak produktif dan bisa saja dengan terlibatnya lembaga pendidikan dalam bisnis tambang, justru akan mengikis daya kritis kampus dalam mengontrol tata kelola tambang itu sendiri. Menurut Robert Dahl dalam teorinya tentang Akuntabilitas, sebuah lembaga publik itu harus bertanggung jawab atas pengelolaan sumber daya. Jika negara gagal, seharusnya bukan institusi pendidikan yang harus menanggung beban tersebut,namun negara harus mengevaluasi secara serius dan radikal terhadap pengelolaan sumber daya alam Indonesia selama ini.
Sekali lagi, Alih-alih melibatkan kampus dalam bisnis tambang, sebaiknya pemerintah lebih fokus pada reformasi pengelolaan sumber daya alam yang lebih baik untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Saya berkeyakinan bahwa, dengan pengelolaan tambang yang efisien dan akuntabel, potensi pendapatan dari tambang dapat digunakan untuk mendanai lembaga pendidikan dan biaya pendidikan gratis bagi semua lapisan masyarakat Indonesia, serta dapat mengakses pendidikan berkualitas tanpa beban biaya yang tinggi seperti yang kita rasakan saat ini. Menurut John Rawls, dalam teorinya pernah menjelaskan tentang Keadilan Sosial, yang menekankan perlunya akses yang adil terhadap pendidikan dan sumber daya.
Sebagai alternatif, sebenarnya lembaga pendidikan dapat berperan dalam penelitian dan pengembangan metode pengelolaan sumber daya alam yang lebih berkelanjutan tanpa terlibat langsung dalam operasional tambang. Ini akan memberikan kontribusi positif bagi masyarakat dan lingkungan tanpa mengorbankan integritas akademis.
Keterlibatan lembaga pendidikan dalam pengelolaan tambang dapat menimbulkan lebih banyak masalah daripada solusi. Alih-alih mengejar keuntungan dari bisnis tambang, lembaga pendidikan seharusnya berfokus pada pengembangan kapasitas dan solusi inovatif yang dapat menghasilkan dampak sosial dan ekonomi yang positif, jikapun negara ingin melibatkan kampus secara serius, cukup menjadikan kampus sebagai mitra strategis bagi pengelola tambang untuk menunjang penelitian maupun kegiatan pemberdayaan lainnya, daripada harus menjadikan lembaga kampus sebagai pelaku utama dalam pengelolaan tambang tersebut. Pemerintah perlu mempertimbangkan kembali kebijakan ini dan mencari cara yang lebih baik untuk mengelola sumber daya alam demi kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Jangan sampai semakin luasnya lembaga atau institusi lain yang mengelola tambang justru semakin memperluas tindak kejahatan dibidang tambang itu sendiri.(*)