Oleh: Dedi Saputra,S.Sos.,M.I.Kom (Akademisi Universitas Nurdin Hamzah)
OPINI – Kisruh yang terjadi akibat surat edaran Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi Jambi tentang ketidakberlakuan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) di RSUD Raden Mattaher merupakan potret buram lemahnya komunikasi institusional di lingkungan Pemerintah Provinsi Jambi. Masalah ini tidak hanya memicu keresahan di masyarakat tetapi juga menjadi perbincangan luas di media sosial, bahkan mendapat sorotan tajam dari anggota DPRD Provinsi Jambi. Ironisnya, kebijakan yang dikeluarkan Dinkes tersebut akhirnya dicabut setelah Gubernur Jambi, Al Haris, memerintahkan agar SKTM tetap berlaku. Situasi ini menimbulkan pertanyaan mendasar tentang tata kelola komunikasi dan koordinasi dalam pemerintahan daerah.
Dalam teori komunikasi organisasi, seperti yang dijelaskan oleh Chester I. Barnard, efektivitas organisasi sangat bergantung pada kemampuan komunikasi yang jelas, komando yang terkoordinasi, dan penerimaan dari pihak yang terkait. Ketika Dinkes sebagai bagian dari organisasi besar Pemprov Jambi mengeluarkan kebijakan tanpa koordinasi dan sinkronisasi dengan Gubernur, hal ini menunjukkan adanya diskoneksi komunikasi internal.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Keputusan Dinkes Provinsi Jambi yang bertolak belakang dengan arahan gubernur juga mengindikasikan lemahnya sistem hirarki komunikasi dalam pemerintahan. Dalam konteks ini, teori komunikasi pemerintahan dari Norton E. Long yang menekankan pentingnya keselarasan antara fungsi birokrasi dan arah kebijakan pemimpin politik menjadi sangat relevan. Ketidakseimbangan ini menunjukkan bahwa fungsi kontrol, monitoring, dan evaluasi dalam pemerintahan tidak berjalan efektif.
Krisis komunikasi ini berdampak serius pada kredibilitas pemerintahan. Pertama, masyarakat menjadi bingung dan resah akibat kebijakan yang berubah-ubah. Dalam perspektif Harold Lasswell, komunikasi publik yang buruk akan menciptakan kebingungan, kegaduhan, dan ketidakpercayaan terhadap institusi. Ketika SKTM dinyatakan tidak berlaku, masyarakat bawah yang sangat bergantung pada fasilitas ini merasa diabaikan oleh pemerintah.
Kedua, ketidakkonsistenan antara kebijakan gubernur dan tindakan Dinkes menggerus otoritas simbolik seorang pemimpin daerah. Hal ini menunjukkan lemahnya kontrol gubernur terhadap perangkat pemerintahannya sendiri. Dalam konteks komunikasi politik, seperti yang dijelaskan oleh Gabriel Almond, pemimpin politik harus mampu menyampaikan pesan yang terkoordinasi dan mencerminkan kesatuan dalam pemerintahan.
Untuk menghindari krisis komunikasi serupa di masa depan, Pemerintah Provinsi Jambi perlu melakukan reformasi mendalam dalam tata kelola komunikasi organisasi. Pemerintah perlu menerapkan mekanisme koordinasi yang ketat antara dinas-dinas dan gubernur. Seluruh kebijakan strategis yang berdampak pada masyarakat harus melalui proses persetujuan yang jelas, sehingga tidak ada tindakan yang kontradiktif.
Unit Humas Pemprov Jambi harus lebih proaktif dalam mengelola komunikasi publik, termasuk melakukan evaluasi terhadap kebijakan yang sensitif bagi masyarakat. Manajemen krisis yang efektif dapat mencegah keresahan publik dan menjaga citra pemerintah. Selain itu, Pegawai Pemprov Jambi harus diberikan pelatihan komunikasi birokrasi untuk meningkatkan pemahaman mereka tentang pentingnya konsistensi dalam menyampaikan kebijakan kepada masyarakat.
Gubernur sebagai pemimpin tertinggi harus memperkuat fungsi monitoring terhadap dinas-dinas di bawahnya. Sistem pengawasan yang jelas akan meminimalisasi kesalahan kebijakan. Masalah ini menunjukkan bahwa komunikasi bukan sekadar alat penyampaian pesan, tetapi juga mekanisme kontrol yang menentukan keberhasilan tata kelola pemerintahan. Pemerintah Provinsi Jambi di bawah kepemimpinan Al Haris harus mampu menciptakan tata kelola komunikasi yang solid dan terintegrasi untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat. Jika ini tidak segera diperbaiki, maka keresahan publik akan terus menjadi batu sandungan bagi upaya mewujudkan pemerintahan yang efektif dan responsif.(*)