Britajambi.id – Pengamat komunikasi politik menilai kebijakan Wali Kota Jambi Maulana dan Wakil Wali Kota Diza dalam menangani banjir di Kota Jambi tidak menyentuh akar persoalan.
Menurutnya, langkah-langkah yang diambil oleh duet pemimpin ini cenderung bersifat proyeknisasi semata, dengan pendekatan tambal sulam anggaran daerah tanpa menyelesaikan problem struktural yang sesungguhnya.
“Kebijakan Penanganan banjir Maulana–Diza lebih kepada tampil dalam bentuk proyek fisik seperti rencana pembangunan drainase, normalisasi anak sungai, hingga pengerukan parit yang diekspos besar-besaran di media sosial. Tapi ini hanya kosmetik kebijakan, bukan transformasi kebijakan,” ungkap Dedi Saputra, pengamat komunikasi politik Jambi, Sabtu (17/5/2025).
Dedi menilai, akar masalah banjir di Kota Jambi bukan hanya soal teknis saluran air, melainkan lebih serius yaitu ekspansi besar-besaran pembangunan perumahan subsidi yang mengabaikan kajian lingkungan, terutama keberadaan daerah resapan air. Ia menyebut pembangunan brutal perumahan di wilayah-wilayah pinggiran kota sebagai bentuk pengabaian terhadap prinsip pembangunan berkelanjutan.
“Yang jadi soal bukan soal pendekatan pembangunan fisik saja, pemerintah kota Jambi kepemimpinan Maulana-Diza ini seperti menutup mata dan tidak berani terhadap masifnya konversi lahan hijau menjadi kawasan beton. Padahal, setiap pembangunan perumahan bersubsidi harusnya melalui kajian daya dukung lingkungan. Tapi sampai hari ini, Maulana–Diza tidak pernah menyentuh isu itu secara terbuka, apalagi menjadikannya prioritas dalam kebijakan tata kota,” tegas Dedi.
Lebih lanjut, ia mengkritik bagaimana kebijakan penanganan banjir dikemas dengan apik di media sosial seolah menunjukkan kerja keras dan keberpihakan pada rakyat, namun di balik itu, substansi kebijakan tidak menjawab persoalan dasarnya.
“Retorika populis yang dibungkus secara visual lewat media sosial telah menciptakan ekspektasi publik yang tinggi. Namun, ketika publik menunggu hasil nyata, mereka justru dihadapkan pada kenyataan bahwa banjir masih berulang, dan solusi jangka panjang tidak kunjung hadir,” tambahnya.
Paradigma pembangunan yang dijalankan Maulana–Diza, menurut Dedi, cenderung bersifat simbolik dan tidak berbasis pada perencanaan sistemik, ini menunjukan Maulana-Diza tidak memahami persoalan banjir secara mendasar.
Ia mengingatkan bahwa komunikasi pembangunan tidak bisa hanya bersandar pada narasi yang menarik di permukaan, melainkan harus menyentuh substansi persoalan, termasuk keberanian meninjau ulang izin-izin perumahan yang berpotensi memperburuk krisis lingkungan kota.
“Ini bukan semata soal komunikasi kebijakan, tapi komunikasi kepemimpinan. Dan dalam hal ini, publik butuh pemimpin yang berani bicara soal hal-hal yang tidak populer, seperti moratorium pembangunan di daerah resapan air,” tutup Dedi.
Masyarakat Kota Jambi, terutama di wilayah-wilayah langganan banjir seperti Paal Merah dan Talang Banjar, kini mulai mempertanyakan efektivitas program-program penanganan banjir yang selama ini digaungkan.
Kritik dari akademisi ini diharapkan menjadi alarm untuk membenahi orientasi pembangunan kota ke depan agar tidak hanya sekadar menjadi panggung proyek populis tanpa perubahan substantif.