Oleh: Dedi Saputra (Mahasiswa Doktoral Ilmu Komunikasi Politik dan Diplomasi Univ. Sahid Jakarta)
Berbagai pelanggaran etika politik yang dikaitkan dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menjadi sorotan publik dalam rentang waktu kekuasaan yang ia kendalikan. Kritikan terhadap, langkah, kebijakan dan tindakan politik Jokowi sering kali mengangkat isu-isu yang berkaitan dengan soal politik nepotisme, transaksionalisme dan kerap kali mengabaikan hak rakyat sipil. Untuk memahami fenomena setiap derap langkah politik Jokowi yang lebih dalam, kita dapat memahaminya dengan menggunakan pendekatan etika politik dari dua pemikir besar yaitu, Niccolò Machiavelli dan Ibnu Khaldun.
Pemikiran Machiavelli, melalui karyanya yang sangat fenomenal yaitu “Il Principe” (Sang Pangeran), memberikan kerangka berpikir yang pragmatis dan realistis tentang bagaimana seorang pemimpin harus berperilaku. Menurut Machiavelli, pemimpin harus siap mengesampingkan moralitas demi mempertahankan kekuasaan dan stabilitas sebuah negara. Dalam konteks ini, beberapa tindakan politik Jokowi dapat dianalisis sebagai upaya untuk mencapai tujuan politiknya jangka panjang meskipun ada pelanggaran etika.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Salah satu kritik yang sering disorot adalah praktik politik transaksional yang terjadi selama masa pemerintahan Jokowi. Misalnya, pembentukan kabinet yang dianggap mengakomodasi kepentingan politik berbagai partai koalisi bisa dilihat sebagai strategi Machiavellian. Tujuannya tidak lain tidak bukan adalah untuk memperkuat basis dukungan politik dan memastikan stabilitas pemerintahan, meskipun hal ini mungkin melanggar prinsip meritokrasi atau mengabaikan kualifikasi individu tertentu. Bagi Machiavelli, tindakan semacam ini dapat dibenarkan jika hasil akhirnya adalah kelangsungan kekuasaan yang stabil.
Selain itu, Isu nepotisme juga kerap mencuat dalam pemerintahan Jokowi, terutama dengan mencuatnya karier politik anak-anaknya dan sang menantu, bagaimana Gibran dijadikan Wali Kota Solo, Boby Nasution menjadi Wali Kota Medan, Kaesang mendapatkan posisi sebagai Ketua Partai PSI dan terakhir yang paling mencuat adalah Gibran menjadi Calon wakil presiden melalui keputusan Mahkamah Konstitusi yang dinilai sangat melanggar etika. Kritikan terhadap hal ini dapat dipandang dari sudut pandang Machiavellian sebagai upaya untuk memperkuat dinasti politik dan memastikan keberlanjutan pengaruh keluarga dalam struktur kekuasaan. Machiavelli mungkin akan melihat langkah ini sebagai tindakan strategis untuk memastikan bahwa, warisan politik dan visi Jokowi dapat dilanjutkan oleh generasi berikutnya.
Namun disisi lain, Ibnu Khaldun menekankan pentingnya keadilan, moralitas, dan integritas dalam kepemimpinan. Dalam “Muqaddimah,” Ibnu Khaldun berpendapat bahwa, seorang pemimpin yang baik harus mampu memelihara kesejahteraan masyarakat dan menjunjung tinggi nilai moral. Dari perspektif ini, beberapa tindakan Jokowi mungkin dianggap melanggar prinsip-prinsip etika yang dipegang oleh Ibnu Khaldun.
Contohnya keputusan yang dianggap mengabaikan hak Rakyat dan kebebasan berekspresi, seperti penanganan terhadap aksi-aksi demonstrasi dan kritik terhadap kebijakan pemerintah, dapat dilihat sebagai pelanggaran terhadap keadilan dan moralitas. Ibnu Khaldun berpendapat bahwa, tindakan semacam ini merusak solidaritas sosial dan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah itu sendiri. Pemimpin seharusnya bertindak adil dan mendengarkan aspirasi rakyatnya, bukan mengabaikan atau menindas suara-suara atau pandangan yang berbeda.
Selain itu, praktik nepotisme yang dikaitkan dengan Jokowi juga dapat bertentangan dengan prinsip-prinsip Ibnu Khaldun, yang menekankan pentingnya integritas pribadi dan etika dalam kepemimpinan. Ibnu Khaldun percaya bahwa, pemimpin yang berintegritas akan mendapat dukungan kuat dari rakyat, sementara tindakan yang memprioritaskan kepentingan pribadi atau keluarga dapat merusak legitimasi politik.
Dari analisis sederhana di atas, dapat disimpulkan bahwa, pelanggaran etika politik yang dikaitkan dengan Jokowi menunjukkan bahwa, kompleksitas dinamika politik modern di tanah air. Pendekatan Machiavellian mungkin menawarkan pembenaran pragmatis untuk beberapa tindakan tersebut, sementara perspektif Ibnu Khaldun menggarisbawahi pentingnya keadilan dan moralitas. Kedua pendekatan ini memberikan wawasan berharga kepada kita tentang bagaimana pemimpin dapat menghadapi tantangan etika dalam politik, dan bagaimana tindakan dapat mempengaruhi persepsi publik serta legitimasi pemerintahan itu sendiri.