Oleh : Dedi Saputra, S.Sos.,M.I.Kom (Akademisi)
Sejak Al Haris menduduki jabatan sebagai Gubernur Jambi, harapan besar masyarakat tertuju pada penyelesaian berbagai masalah mendesak, salah satunya adalah persoalan batu bara. Provinsi Jambi, yang memiliki potensi tambang batu bara melimpah, telah lama dihadapkan pada persoalan pelik yang menyangkut berbagai aspek, mulai dari lingkungan, sosial, hingga ekonomi. Namun, sayangnya, selama masa kepemimpinan Al Haris, masalah ini justru semakin mengakar dan tidak ada tanda-tanda penyelesaian yang konkret.
Isu batu bara di Jambi bukanlah isu baru. Masyarakat di daerah penghasil tambang terus-menerus tercekik oleh dampak negatif dari aktivitas pertambangan, seperti kerusakan lingkungan, pencemaran air, udara, dan rusaknya infrastruktur jalan akibat truk-truk tambang yang melintas. Kondisi ini memunculkan kegelisahan publik yang berharap pemerintah provinsi, di bawah kepemimpinan Al Haris, mampu hadir sebagai solusi. Namun, faktanya, selama bertahun-tahun, alih-alih menyelesaikan masalah, Al Haris terkesan membiarkan persoalan ini berlarut-larut tanpa tindakan tegas yang signifikan.
Banyak pihak menilai bahwa kegagalan Al Haris dalam menangani persoalan batu bara disebabkan oleh lemahnya kepemimpinan dan kurangnya keberanian untuk mengambil langkah tegas terhadap pelanggaran regulasi oleh perusahaan tambang. Padahal, pengelolaan sumber daya alam seharusnya dapat menjadi berkah bagi masyarakat jika dilakukan secara bijaksana. Sayangnya, di bawah pemerintahan Al Haris, potensi ini justru menjadi kutukan yang semakin membebani rakyat Jambi.
Salah satu bukti nyata dari lemahnya penanganan masalah ini adalah masih maraknya truk-truk batu bara yang melintasi jalan umum tanpa mematuhi aturan tonase, yang mengakibatkan kerusakan parah pada jalan provinsi dan merugikan masyarakat sekitar. Pemerintah provinsi seolah tutup mata terhadap penderitaan rakyat, sementara keuntungan besar dari tambang hanya dinikmati segelintir elit yang memiliki kepentingan di dalamnya.
Al Haris berulang kali berjanji akan mencari solusi untuk mengatasi kemacetan yang diakibatkan oleh truk batu bara, dengan wacana pembangunan jalur khusus. Namun, hingga akhir masa jabatannya, janji tersebut hanya sebatas wacana. Tak ada realisasi nyata yang dirasakan masyarakat. Alih-alih menyelesaikan, masalah ini justru semakin memperburuk citra Al Haris sebagai pemimpin yang gagal memenuhi janjinya.
Lebih dari itu, persoalan tambang batu bara juga menimbulkan dampak sosial yang cukup serius. Ketidakadilan distribusi keuntungan tambang antara masyarakat dan pihak perusahaan semakin memuncak, memicu ketegangan dan ketidakpuasan di berbagai daerah penghasil tambang. Di sinilah seharusnya Al Haris tampil sebagai pemimpin yang bisa memediasi dan mencari solusi yang adil bagi semua pihak. Namun, dalam kenyataannya, kepemimpinannya terkesan pasif dan tidak memiliki strategi yang jelas.
Masalah batu bara yang tidak terselesaikan ini menjadi salah satu noda hitam dalam kepemimpinan Al Haris. Ini menunjukkan bahwa kepemimpinan bukan hanya soal janji dan wacana, tetapi juga tentang keberanian mengambil tindakan nyata demi kepentingan rakyat. Gagalnya Al Haris dalam menangani masalah ini membuka mata masyarakat Jambi bahwa perubahan hanya bisa terjadi jika ada pemimpin yang benar-benar peduli dan mau bertindak, bukan sekadar berjanji.
Masyarakat kini semakin sadar bahwa kepemimpinan yang kuat bukan hanya soal popularitas, melainkan tentang kemampuan untuk menyelesaikan masalah yang nyata. Jika Al Haris tidak mampu menyelesaikan persoalan batu bara selama masa jabatannya, lalu apa lagi yang bisa diharapkan dari kepemimpinannya di masa depan?.