Oleh : Dedi Saputra, S.Sos (Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi Politik Univ. Paramadina)
OPINI – Bak menonton drama Korea Pertemuan para elit politik tentang pembentukan koalisi partai politik untuk mengusung capres dan cawapres 2024 sungguh menarik dan menggemaskan bagi rakyat yang menyaksikan lakon mereka. Hampir dua bulan belakangan ini rakyat disajikan drama koalisi yang mengesankan membosankan.
Dalam sistem presidensial multipartai proses pembentukan koalisi seringkali dibangun diatas pondasi yang pragmatisme. Bagi-bagi kekuasaan(power sharing) menjadi bahasa komunikasi politik yang mempertemukan antar para elit partai politik. Perolehan suara pemilu 2019 yang lalu yang menghasilkan selisih suara antar partai politik yang rata-rata signifikan, kecuali partai PDI-P, inilah membuat electoral vote yang diperoleh oleh masing-masing partai politik menjadi alat untuk menentukan tawar menawar politik.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Itulah yang menyebabkan mengapa drama penjajakan koalisi begitu gencar harus segera terjalin secara solid dan saling menguntungkan antar partai koalisi tersebut. Hari ini kita sedang dipertontonkan teater elit partai politik, Memakai istilah seorang sastrawan terkenal yaitu Pramoedya Ananta Toer bahwa drama koalisi yang kita saksikan saat ini tak lebih seperti “badai dalam secangkir kopi.” Tak ada hubungan secara langsung dengan kepentingan para pemilih secara umum. Elit partai politik bermanuver secara zig zag tanpa memperhatikan kepentingan ideologi partai politiknya. Rakyat dipaksa untuk menonton drama koalisi yang tak bermutu dari kalangan elit politik tersebut.
Suara rakyat dalam drama koalisi partai ini sedang diperdagangkan oleh para elite melalui negoisasi dan transaksi kepentingan di panggung belakang. Drama murahan ini sengaja dipertontonkan oleh para elite tanpa rasa malu dihadapan rakyat. Reputasi dan kualitas politik yang bermoral menjadi kehilangan kredibilitasnya di tangan para elite politik yang “kesana kesini” mencari kawan koalisi tanpa bermuatan ide dan gagasan yang jelas untuk kepentingan rakyat.
Selama ini yang selalu menjadi alasan dalam penjajakan koalisi adalah mencari atau menemukan kesamaan visi dan flatform dalam berkoalisi menjadi bingkai komunikasi politik yang disampaikan secara terus menerus oleh para elit partai politik dihadapan rakyat. Sebuah pembodohan atas kecerdasan rakyat, seolah-olah rakyat tak bisa memahami makna”kesamaan visi” yang hanya kamuflase untuk menutupi libido kekuasaan yang membara. Gambaran perpolitikan yang buruk yang dalam istilah sangat populer saat ini adalah politik “dagang sapi”. Inilah pengejawantahan definisi tradisional tentang politik kita. Siapa mendapatkan jabatan apa, kapan diwujudkan dan bagaimana caranya.
Istilah politik “dagang sapi” inilah dimana tawar menawar dan kompromi menjadi bahasa pengantarnya, tukar menukar insentif materi, menjadi mata uangnya. Ibarat sebuah perkawinan, koalisi menuju Pilpres ditandai oleh seberapa cocok mahar politik yang ditawarkan. Semakin saling sesuai mahar yang ditawarkan maka semakin cepat pula ijab kabul koalisi itu terbentuk.
Selain bidang ekonomi politik, proses pembentukan koalisi juga ditentukan oleh ada tidaknya kimiawi politik antar elit partai politik. Inilah yang menjelaskan mengapa partai NasDem cepat-cepat mendeklarasikan Anies Baswedan sebagai Capres tanpa syarat karena hubungan antara Anies dan Partai NasDem sebelumnya sudah terbentuk pada saat NasDem masih berbentuk ormas. Dukungan ini sebenarnya telah menyelamatkan wajah NasDem dari iklim transaksional yang sudah sedemikian rupa menjalar dalam perpolitikan kita.
Dalam politik, hubungan antara ideologi partai dan hubungan gagasan, serta flatform koalisi juga didorong oleh brandwagon effect. Politisi itu pada dasarnya adalah makhluk yang rasional dan realistis. Mereka ingin ikut rombongan bus pemenang, sehingga kalkulasi menang atau kalah menjadi faktor yang sangat menentukan.
Sepertinya pola pembentukan koalisi pacra reformasi memiliki kecenderungan model elitis dan office seeking ketimbang model populis dan policy seeking. Terlihat jelas bahwa idelogi partai bukanlah faktor utama dalam pembentukan koalisi. Ini terlihat beberapa hari yang lalu partai PDI-P dan Partai PPP telah berkoalisi untuk mengusung Ganjar Pranowo sebagai capres 2024, padahal antara dua partai ini memiliki ideologi partai yang sangat berbeda namun karena “kesamaan kepentingan” mereka bisa menjadi satu koalisi.
Meskipun demikian, harus kita akui memang tidak ada rambu- rambu apapun dalam membentuk koalisi, semua serba memungkinkan. Namun perilaku partai politik kita tidaklah sejalan dengan bayangan kita. Nafsu politisi untuk selalu berada dalam kolam kekuasaan akan menjadikan peta koalisi rentan berubah, tergantung bagaimana irisan kue kekuasaan bisa dibagi rata, meskipun tidak sama namun bisa mencukupi dan mengenyangkan.