Oleh: Hafiz Ruddy (Mahasiswa UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi)
OPINI – Berbicara studi orientalis mengenai Al-Qur’an telah menjadi topik yang signifikan dan rumit dalam sejarah akademik. Orientalis adalah para sarjana non-Muslim yang mempelajari Al-Qur’an dari sudut pandang akademis dan sejarah. Beberapa analisis terhadap Al-Qur’an telah dilakukan oleh beberapa kelompok orientalis dari berbagai aspek kajian, pengkritikan kajian, kontribusi kajian, dan aspek lainnya. Dalam tulisan ini, penulis fokus pada kritik terhadap Al-Qur’an yang dilakukan oleh sejumlah orientalis yang meneliti dan mengkritiknya, termasuk Christoph Luxenberg. Christoph Luxenberg adalah salah satu orientalis yang tertarik mempelajari Al-Qur’an. Nama Luxenberg sendiri adalah alias dari Ephraem Malki. Luxenberg menggunakan alias tersebut untuk melindungi dirinya dari potensi bahaya. Ia merupakan warga negara Jerman yang berasal dari Lebanon. Pemikiran Christoph Luxenberg terhadap kajian Al-Qur’an, seperti yang terdapat dalam bukunya yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul “The Syro-Aramaic Reading of The Quran: A Contribution to the Decoding of the Quranic Language”, mengkritik otentisitas bahasa Al-Qur’an. Menurutnya, terdapat aspek yang perlu direkonstruksi dalam al-Quran, khususnya mengenai asal-usul bahasanya. Baginya, bahasa asal al-Quran bukanlah bahasa Arab, melainkan sangat dipengaruhi oleh bahasa Syro-Aramaic.
Pemikiran Luxenberg ini berlawanan dengan ayat Al-Qur’an yang menyatakan bahwa Allah mengutus rasul dengan bahasa kaumnya untuk memberikan penjelasan yang jelas kepada mereka. Hal ini menunjukkan bahwa Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Rasulnya, yakni Nabi Muhammad yang berbahasa Arab. Selain itu, terdapat beberapa keberatan terhadap pendapat Christoph Luxenberg yang berlawanan dengan ilmu pengetahuan jika dianalisis lebih dalam. Misalnya, dari segi linguistik, Luxenberg menggunakan pendekatan linguistik yang tidak lazim dalam menganalisis teks Al-Qur’an. Kritik terhadapnya menyoroti validitas metode ini dalam konteks teks suci dan kompleksitas bahasa Arab klasik. Dalam aspek lain, kurangnya ketepatan historis menunjukkan bahwa Luxenberg mungkin tidak sepenuhnya memahami atau mempertimbangkan konteks historis yang tepat dari Al-Qur’an dan masyarakat Arab pada masa itu, sehingga interpretasinya mungkin kurang akurat. Meskipun demikian, kontribusi dan spekulasi dari pemikiran Christoph Luxenberg telah memicu diskusi dan refleksi mendalam di kalangan cendekiawan Islam dan orientalis. Diskusi ini mendorong penelitian lebih lanjut dan mempertajam metodologi kajian terhadap Al-Qur’an dalam konteks linguistik, sejarah, dan teologi.
Dengan demikian, penulis berharap agar kritik atas kajian Al-Qur’an yang dibawa oleh Christoph Luxenberg tidak selalu akurat dan kurang didukung dengan kuat oleh bukti. Namun, dalam konteks akademis yang dinamis ini, penting untuk menghargai bahwa pendekatan berbeda dalam kajian Al-Qur’an dapat memberikan wawasan baru yang berharga, meskipun tetap memerlukan evaluasi kritis dan diskusi ilmiah yang terbuka. Selain itu, hal tersebut juga dapat memperkuat keyakinan umat Islam dalam kepercayaan terhadap kitab suci.