Oleh: Dedi Saputra,S.Sos.,M.I.Kom (Akademisi Univ. Nurdin Hamzah Jambi)
Negara Indonesia, yang beberapa hari yang lalu kita rayakan Kemerdekaanya yang begitu khidmat dan meriah, negara yang pernah dielu-elukan sebagai salah satu contoh demokrasi yang berkembang di Asia, kini terjebak dalam labirin kekuasaan yang tak berujung. Demokrasi yang dahulu menjadi harapan rakyat untuk masa depan yang lebih baik, kini tampak semakin kabur, seperti fatamorgana di tengah padang pasir yang kering kerontang. Demokrasi yang pernah menjadi milik rakyat, kini justru dimanipulasi untuk kepentingan segelintir elit, sementara konstitusi yang seharusnya menjadi penjaga gerbang demokrasi telah dikebiri demi mempertahankan kekuasaan.
Dua periode pemerintahan Jokowi, yang awalnya diharapkan membawa perubahan positif dan sosok kepemimpinan Jokowi yang sangat populis dengan gaya pemimpin yang sederhana dan menerobas sakralitas, kini justru terjebak dalam praktik-praktik yang mengekang demokrasi. Salah satu contoh paling mencolok adalah keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 90 tahun 2023 untuk mengubah batas umur calon presiden. Keputusan ini, yang pada akhirnya meloloskan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden, dianggap oleh banyak pihak sebagai bukti nyata bahwa, konstitusi telah dimanipulasi demi kepentingan politik kekuasaan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Lebih parahnya lagi, partai-partai politik justru menyambut keputusan ini dengan membentuk koalisi besar yang disebut “Koalisi Indonesia Maju” (KIM). Koalisi ini tidak hanya bertujuan untuk memperkuat kekuasaan, tetapi juga untuk menjegal mereka yang dianggap tidak sejalan dengan agenda politik tertentu. Ini adalah bukti bahwa demokrasi kita semakin terpolarisasi, dengan para elit politik yang siap mengorbankan prinsip-prinsip dasar demokrasi demi kepentingan sesaat.
Di tengah kecaman terhadap MK yang dianggap terlalu dekat dengan kekuasaan, lembaga ini tiba-tiba muncul sebagai “penyelamat” demokrasi dengan mengeluarkan putusan menolak gugatan terkait perubahan batas umur calon gubernur yang konon akan kembali meloloskan Kaesang yang baru berumur 29 tahun. Keputusan ini seakan-akan menunjukkan bahwa, MK masih memiliki integritas untuk menjaga demokrasi. Namun, harapan ini kembali runtuh ketika MK mengubah syarat ambang batas pencalonan kepala daerah yang seharusnya membuka lebih banyak peluang bagi kandidat dan memperkuat demokrasi daerah. Ironisnya, hanya berselang satu hari keputusan MK ini justru “dibegal” oleh DPR dengan melakukan perlawanan lewat persetujuan revisi undang-undang Pilkada yang hanya dibahas selama tujuh jam, yang semestinya menjadi representasi suara rakyat.
“Pembegalan” DPR terhadap keputusan MK ini memperlihatkan betapa besar pengaruh kekuatan politik dalam mengendalikan mekanisme demokrasi. Alih-alih memperjuangkan kepentingan rakyat, DPR justru menunjukkan wajah otoriternya dengan menolak keputusan yang seharusnya membuka kran demokrasi lebih lebar. Ini adalah cermin bahwa demokrasi kita tidak hanya dikebiri oleh satu lembaga, tetapi juga oleh sebuah sistem yang semakin mengedepankan kepentingan elit dibandingkan kepentingan rakyat.
Di tengah situasi ini, Negara berada di persimpangan jalan. Di satu sisi, ada kekuatan yang terus berusaha mempertahankan status quo dengan memanipulasi konstitusi dan meredam aspirasi rakyat. Di sisi lain, ada gerakan rakyat yang semakin kuat menuntut keadilan, transparansi, dan kebebasan yang sesungguhnya.
Keputusan MK yang berpihak pada demokrasi dengan menolak perubahan batas umur calon gubernur memberikan sedikit harapan bahwa demokrasi masih bisa diselamatkan. Namun, penolakan DPR terhadap keputusan MK ini menunjukkan bahwa jalan menuju demokrasi yang sehat masih penuh dengan rintangan.
Fata morgana demokrasi yang kita saksikan hari ini mungkin tampak menggoda dari kejauhan, tetapi semakin kita mendekat, semakin jelas bahwa demokrasi kita sedang dalam bahaya besar. Manipulasi konstitusi, koalisi kekuasaan yang semakin otoriter, dan penolakan terhadap reformasi demokrasi adalah tanda-tanda bahwa Indonesia sedang menuju ke arah yang keliru.
Namun, rakyat Indonesia tidak boleh menyerah. Di tengah segala keterbatasan, masih ada harapan untuk mempertahankan demokrasi sejati. Kita harus terus mengawasi, mengkritisi, dan berjuang untuk memastikan bahwa demokrasi tidak menjadi sekadar ilusi di tengah konstitusi yang dikebiri. Rakyat adalah pemegang kedaulatan yang sesungguhnya, dan suara mereka tidak boleh dibungkam oleh kekuasaan yang korup.
Penulis adalah : Alumni S2 Ilmu Komunikasi Politik Univ. Paramadina dan Mahasiswa Doktoral Ilmu Komunikasi Politik dan Diplomasi Univ. Sahid Jakarta.