Oleh : Rizqy Nur Safira Alwidad Hidayat (Mahasiswi Fakultas Ushuluddin, Universitas Sultan Thaha Saifuddin Jambi)
OPINI – Andrew Rippin sebagai salah satu orientalis generasi belakangan, tidaklah mengherankan jika Rippin tampak sebagai sosok yang cukup simpatik terhadap Islam dalam kapasitasnya sebagai seorang outsider. Tidak mengherankan jika ia tertarik pada perkembangan sejarah tafsir Al-Qur’an dari masa ke masa, termasuk pada masa awal pembentukan Islam yang berbarengan dengan munculnya tafsir generasi awal.
Pandangan Rippin mengenai Al-Qur’an dikemukakan panjang lebar dalam volume I Muslims; Their Religious Beliefes and Practices karena ia menyediakan subbab khusus yang membahas Al-Qur’an dan diposisikan antara dua subbab lain mengenai Arab pra-Islam dan sosok Nabi Muhammad, sehingga ulasannya menjadi komprehensif. Ada beberapa bahasan yang dimuat dalam subbab khusus tersebut mulai dari posisi Al-Qur’an sebagai sebuah buku yang memiliki beberapa bagian, konten-konten di dalamnya yang memiliki kesamaan serta perbedaan dengan kitab-kitab samawi sebelumnya, hingga sisi-sisi lain Al-Qur’an semisal ajaran mengenai ketidakmungkinan meniru Al-Qur’an, otoritas dan posisinya dalam Islam, manuskrip Al-Qur’an yang menunjukkan orisinalitasnya, hingga perihal penafsiran Al-Qur’an. Aspek terakhir inilah yang tampak paling memesona Rippin sehingga ia banyak terlibat dalam penulisan hingga penyuntingan buku-buku yang terkait dengan penafsiran Al-Qur’an.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Secara umum, pandangan ontologis Rippin terhadap Al-Qur’an tidak banyak berbeda dengan pandangan mainstream Muslim, yakni suatu naskah yang diwahyukan pada Nabi Muhammad dan berisi ajaran serta tuntunan dalam menjalani kehidupan. Ia kemudian menambahkan bahwa naskah tersebut utamanya berisi perintah pada kaum Yahudi dan Nasrani untuk memeluk agama samawi terakhir yang diturunkan pada Nabi Muhammad. Kepatuhan terhadap perintah tersebut akan mendatangkan surga, sedang pengingkaran terhadapnya akan mendatangkan neraka. Menurut Rippin, dalam hitung-hitungan kasar, volume Al-Qur’an tidak begitu berbeda dengan volume Perjanjian Lama dan isinya pun senada dengan tradisi Judeo-Kristian. Ia juga menegaskan bahwa karena Muhammad-lah yang menerima naskah tersebut, maka Muhammad sendiri jugalah yang paling mengerti dan memahami kandungan dan maksud Al-Qur’an, sehingga tindak-tanduk Muhammad baginya merupakan perilaku ideal yang mencerminkan nilai-nilai Al- Qur’an.
Satu hal yang mungkin membedakan Rippin dengan para orientalis lain adalah karena ketertarikannya pada sejarah penafsiran Al-Qur’an. Jika para orientalis lain umumnya lebih suka membidik konten Al-Qur’an dari berbagai sisi, menguji orisinalitas, ataupun sejarah kompilasi yang terjadi jauh sesudah periode pewahyuan, Rippin justru memilih haluan yang berbeda. Ia pun tidak setengah-setengah dalam pilihannya tersebut dan ini terbukti dari beberapa tulisan maupun suntingannya yang sebagian besar bertemakan penafsiran Al-Qur’an. The Qur’an: Formative Interpretation (1999) yang ia sunting, misalnya, membicarakan kecenderungan dan produk tafsir pada masa awal Islam, khususnya tiga ratus tahun pertama setelah lahirnya Islam, sedangkan Muslims: Their Religious Beliefs and Practices; The Contemporary Period membahas kecenderungan tafsir modern serta berbagai gaya yang dipilih masing-masing mufassir untuk mengelaborasi gagasan-gagasannya. Buku lain yang senada denga buku terbitan 1999 yang ia sunting adalah adalah The Qur’an; Style and Contents (2001) yang mengemukakan pendekatan-pendekatan baru dalam penafsiran dan disebutnya sebagai pendekatan modern.