Oleh : Dedi Saputra, S.Sos., M.I.Kom (Dosen Universitas Nurdin Hamzah Jambi dan Mahasiswa Doktor Ilmu Komunikasi Univ. Sahid Jakarta)
Britajambi.id – Pemilihan kepala daerah secara langsung oleh masyarakat merupakan salah satu pilar utama dalam sistem demokrasi di Indonesia. Sebagai ajang di mana masyarakat secara langsung memilih pemimpin mereka dan memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada Putra dan Putri terbaik yang ada di daerah tersebut untuk ikut serta dalam kontestasi Pilkada tersebut. Pilkada seharusnya menjadi wahana di mana visi, program, dan kualitas kepemimpinan menjadi sorotan utama. Namun, kenyataannya, proses pilkada seringkali diwarnai oleh dominasi kuasa uang dalam kontestasi politik lokal, bahkan sudah menjadi pembicaraan umum bahwa untuk mencalonkan diri dalam kontestasi Pilkada harus memiliki finansial yang besar, Fenomena ini tidak hanya mengganggu proses demokrasi itu sendiri, tetapi juga mengancam legitimasi dan kualitas pemerintahan daerah.
Tampaknya, kuasa uang sudah menjadi “kekuatan yang mendominasi” dalam pilkada ketika kandidat atau calon pemimpin menggunakan sumber daya finansial mereka untuk mempengaruhi hasil pemilihan. Hal ini bisa tercermin dalam berbagai praktik, mulai dari pembelian suara, distribusi sembako, mahar politik, hingga kampanye politik yang mengandalkan kekayaan materi. Praktik semacam ini menimbulkan ketidaksetaraan dalam kontestasi politik, di mana calon dengan sumber daya finansial yang lebih besar akan memiliki keunggulan, sementara calon lainnya yang mungkin lebih berkualitas dan berintegritas akan terpinggirkan.
Dampak dari dominasi kuasa uang dalam pilkada sangatlah merugikan bagi proses demokrasi itu sendiri. Ketidaksetaraan akses yang disebabkan oleh kuasa uang membuat proses pemilihan tidak lagi murni didasarkan pada aspirasi dan kepentingan publik, tetapi dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan individual atau kelompok tertentu. Hal ini mengurangi legitimasi hasil pemilihan dan mengikis kepercayaan masyarakat terhadap sistem demokratis, sehingga akan melahirkan pemilih yang apatis terhadap Pemilu, yang akan menjauhkan dari esensi dari kontestasi Pemilu itu sendiri, terutama ditingkat demokrasi lokal.
Tidak hanya itu, kuasa uang dalam pilkada juga berdampak negatif pada kualitas pemerintahan daerah. Kandidat yang terpilih berdasarkan pengaruh uang cenderung lebih rentan terhadap korupsi, nepotisme, dan kebijakan-kebijakan yang tidak akuntabel. Ini mengarah pada pemerintahan yang tidak efektif dan tidak responsif terhadap kebutuhan masyarakat, sehingga merugikan kualitas hidup di tingkat lokal.
Oleh karena itu, penting untuk mengatasi dominasi kuasa uang dalam pilkada. Langkah-langkah yang diperlukan termasuk penguatan regulasi terkait pendanaan kampanye, peningkatan kesadaran politik masyarakat, pemberdayaan lembaga pengawas pemilu, dan penguatan partisipasi masyarakat dalam proses politik. Hanya dengan menekan pengaruh uang dalam politik lokal, kita dapat memastikan bahwa pilkada benar-benar menjadi arena di mana kualitas kepemimpinan, visi, dan program menjadi prioritas utama, sehingga memperkuat demokrasi dan meningkatkan kualitas pemerintahan daerah.
Kuasa uang dalam kontestasi pilkada bukan sekadar masalah lokal yang bisa diabaikan, tetapi merupakan ancaman serius terhadap demokrasi di tingkat daerah. Untuk memastikan bahwa proses demokratis berjalan dengan baik dan pemerintahan yang terpilih berkualitas, diperlukan upaya bersama dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, lembaga pengawas, partai politik, dan masyarakat sipil.
Pertama, pemerintah memiliki tanggung jawab untuk mengambil langkah yang lebih konkret dalam mengatasi masalah kuasa uang dalam pilkada. Hal ini dapat dilakukan melalui perbaikan regulasi terkait pendanaan kampanye, penegakan hukum terhadap praktik politik yang melanggar aturan, serta penyediaan sumber daya dan infrastruktur yang memadai untuk mendukung proses pemilihan yang adil dan transparan.
Selanjutnya, lembaga pengawas pemilu juga memiliki peran yang sangat penting dalam mengawasi jalannya pilkada. Mereka perlu meningkatkan kapasitas mereka dalam mendeteksi dan menindak pelanggaran hukum, serta memberikan sanksi yang tegas dan berani terhadap pelaku pelanggaran. Transparansi dan akuntabilitas dalam proses pengawasan juga harus ditingkatkan untuk memastikan kepercayaan masyarakat terhadap hasil pemilihan.
Partai politik, sebagai aktor utama dalam proses politik, juga harus berperan aktif dalam mengatasi masalah kuasa uang dalam pilkada. Mereka perlu mengutamakan kualitas dan integritas calon yang diusung, bukan hanya fokus kepada popularitas dan elektabilitas belaka, serta menghindari praktik politik uang dan mahar politik yang merugikan proses demokratis. Partai politik juga dapat berperan dalam mengedukasi anggotanya dan masyarakat umum tentang pentingnya partisipasi politik yang bersih dan bertanggung jawab.
Terakhir, peran masyarakat sipil sangat penting dalam melawan praktik politik uang dalam pilkada. Masyarakat perlu menjadi penjaga dan pengawas proses pemilihan, serta aktif dalam menyuarakan aspirasi dan kepentingan mereka. Organisasi masyarakat sipil juga dapat berperan dalam memberikan pendidikan politik kepada masyarakat tentang hak-hak dan tanggung jawab mereka dalam proses demokratis.
Dengan kerja sama yang solid antara pemerintah, lembaga pengawas, partai politik, dan masyarakat sipil, kita dapat melawan kuasa uang dalam kontestasi pilkada dan memperkuat prinsip-prinsip demokrasi yang inklusif dan transparan. Hanya dengan demikian, kita dapat memastikan bahwa proses pemilihan berlangsung secara jujur, adil, bebas dan berkualitas.