JAMBI – Program Dumisake yang diusung oleh Gubernur Jambi, Al Haris, telah menjadi salah satu kebijakan yang sering diangkat dalam berbagai forum dan media. Program ini dipromosikan sebagai langkah inovatif untuk mempercepat pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Namun, menurut analisis pengamat Komunikasi Politik Jambi, ketika ditelaah lebih dalam dari sudut pandang komunikasi politik, Dumisake tampak lebih seperti kemasan produk yang cantik daripada sebuah inisiatif yang benar-benar berpihak pada rakyat Jambi.
Menurut Dedi Saputra, dari sisi komunikasi politik, Al Haris telah berhasil menciptakan narasi yang membingkai Dumisake sebagai simbol keberpihakan kepada rakyat Jambi. Dengan penggunaan retorika yang menekankan pada istilah-istilah populis seperti “pemberdayaan masyarakat” dan “pembangunan berkelanjutan,” Al Haris mampu menarik perhatian publik dan mendapatkan dukungan dari kelompok tertentu. Namun, ada celah besar antara narasi yang dibangun dan realitas di lapangan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kata Dedi, Penggunaan jargon dan slogan yang terkesan pro-rakyat adalah salah satu teknik komunikasi politik yang kerap digunakan untuk menciptakan citra positif di mata publik. Namun, ketika program tersebut diuji dengan kenyataan, Dumisake justru menunjukkan kelemahan yang mendasar.
Program ini sering kali tidak mampu menyentuh akar permasalahan yang dihadapi masyarakat, terutama di sektor ekonomi dan kesejahteraan sosial. Banyak kebijakan yang seharusnya memberikan dampak langsung kepada masyarakat, justru terjebak dalam birokrasi dan pelaksanaan yang tidak efektif.
Selain itu, Dedi menambahkan, Dumisake kerap dijadikan alat untuk memobilisasi dukungan politik tanpa memberikan solusi nyata bagi masalah-masalah yang dihadapi rakyat. Program ini terlihat seperti sebuah “showcase” yang dikemas dengan baik untuk menarik perhatian, namun substansinya kurang. Hal ini mencerminkan komunikasi politik Al Haris yang cenderung fokus pada pencitraan daripada substansi kebijakan.
Dalam konteks politik daerah, program seperti Dumisake seharusnya menjadi representasi nyata dari komitmen seorang pemimpin kepada rakyat. Namun, dengan pendekatan yang lebih mengedepankan penampilan dan retorika, Al Haris tampaknya lebih memilih untuk membangun citra daripada memberikan dampak nyata. Hal ini tentu menjadi kritik yang serius terhadap gaya kepemimpinan dan komunikasi politik yang diterapkan oleh Al Haris.
Dedi menegaskan, Keberhasilan suatu program tidak hanya ditentukan oleh seberapa baik program tersebut dipromosikan, tetapi juga seberapa efektif program tersebut dalam menjawab kebutuhan rakyat. Dalam hal ini, Dumisake tampaknya gagal memenuhi ekspektasi. Ini memberikan pelajaran penting bagi para pemimpin dan politisi bahwa kemasan yang indah tanpa isi yang kuat hanya akan menciptakan kekecewaan di kalangan masyarakat.